Barang-barang terlarang yang diperdagangkan

v\:* {behavior:url(#default#VML);}
o\:* {behavior:url(#default#VML);}
w\:* {behavior:url(#default#VML);}
.shape {behavior:url(#default#VML);}

Normal
0
false

false
false
false

IN
X-NONE
X-NONE

/* Style Definitions */
table.MsoNormalTable
{mso-style-name:”Table Normal”;
mso-tstyle-rowband-size:0;
mso-tstyle-colband-size:0;
mso-style-noshow:yes;
mso-style-priority:99;
mso-style-qformat:yes;
mso-style-parent:””;
mso-padding-alt:0cm 5.4pt 0cm 5.4pt;
mso-para-margin-top:0cm;
mso-para-margin-right:0cm;
mso-para-margin-bottom:10.0pt;
mso-para-margin-left:0cm;
line-height:115%;
mso-pagination:widow-orphan;
font-size:11.0pt;
font-family:”Calibri”,”sans-serif”;
mso-ascii-font-family:Calibri;
mso-ascii-theme-font:minor-latin;
mso-hansi-font-family:Calibri;
mso-hansi-theme-font:minor-latin;
mso-bidi-font-family:”Times New Roman”;
mso-bidi-theme-font:minor-bidi;
mso-fareast-language:EN-US;}

BARANG YANG TERLARANG UNTUK DIPERJUAL BELIKAN

Larangan syara’ dalam perdagangan pada garis besarnya dibagi atas tiga komponen: pertama, meliputi barang atau zat yang terlarang diperjual belikan, misalnya: babi, minuman keras, berhala (patung yang disembah), anjing, alat-alat ma’shiat dan barang-barang yang samar.

Kedua, meliputi segala usaha atau obyek dagang yang terlarang seperti: usaha pelacuran, pertenungan, perjudian, pengangkutan barang-barang haram dan lain sebagainya.

Ketiga, meliputi cara-cara dagang atau jual beli yang terlarang, misalnya: persaingan dengan sesama Muslim, banyak sumpah, penghadangan kafilah, penimbunan barang dan sebagainya.

1.    Barang yang haram dimakan

Barang-barang yang telah tegas dan jelas haramnya dalam al-Qur’an hanya empat, yaitu: bangkai, darah, babi dan apa-apa yang disembelih bukan karena Allah. Hal ini berdasarkan pada Firman Allah SWT pada surat An-Nahl ayat 115:

 

Dalil al-Qur’an yang serupa dijumpai dalam surah al-Baqarah: 173, Surat al-Maidah:4 dan Surah al-An’am: 145.

Keharaman memperdagangkan barang-barang tersebut berdasarkan sabda Rasulullah saw.: Dan sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan makan sesuatu kepada satu kaum, maka mengharamkan pula harganya. (H.S.R. Ahmad)

Dalam Hadits-hadits lainnya dikemukakan:

Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan jual-beli arak, bangkai, babi dan patung-patung. (Muttafaq ‘alaih)

Dengan dalil-dalil tersebut, jelaslah haramnya memperjual belikan barang-barang yang haram dimakan. Yang menjadi persoalan di kalangan fuqaha ialah hukum penjualan barang yang haram di makan tetapi dapat dipergunakan untuk keperluan lain, seperti lemak, dan kulit bangkai yang disamak. Dalam hubungan ini ada diriwayatkan bahwa ada seorang bertanya kepada Nabi saw.:

Bagaimana lemak bangkai, karena digunakan orang untuk melabur perahu-perahu, meminyaki kullit-kulit dan untuk lampu-lampu penerangan?

Maka Nabi saw. menjawab:

Tidak boleh, dia itu haram. Allah mengutuk orang-orang Yahudi karena sesungguhnya Allah telah mengharamkan lemak (bangkai) itu kepada mereka, tetapi mereka mengolahnya dan menjual belikannya lalu memakan hasil penjualannya. (Muttafaq ‘alaih)

Dengan dalil tersebut maka segolongan ulama berpendapat bahwa lemak bangkai itu tidak boleh dihunakan untuk keperluan apapun dan tidak boleh diperjual belikan. Tetapi menurut madzhab Syafi’i, apabila penggunaannya bukan untuk dimakan  dan dipakai berminyak oleh manusia, seperti untuk memberi makan binatang maka adalah “boleh”.

Qadli Iyad meriwayatkan bahwa Imam Malik dan kebanyakan murid-murid Abu Hanifah dan al-Laits membolehkan memanfaatkan lemak bangkai, selain dimakan. Adapun alasan pihak yang membolehkan pemanfaatan lemak bangkai ialah Hadits riwayat at-Thahawi, di mana Rasulullah saw. pernah ditanya tentang bangkai tikus yang jatuh pada minyak samin, lalu beliau menjawab:

Jika minyaknya itu beku, maka buanglah bangkainya itu dan samin di sekelilingnya. Tetapi jika ia cair maka boleh kalian jadikan lampu penerangan atau kalian gunakan untuk kepentingan lain. (al-Hadits)

Menurut at-Thahawi, Hadits ini shahih. Juga diriwayatkan melalui beberapa sahabat seperti Ali, Ibnu Umar, Abu Musa dan beberapa tabi’in seperti Qasim bin Muhammad dan Salim bin Abdillah. Dalam hubungan ini, Madzhab Hadawiyah dan Imam Ahmad Hambal berpendapat bahwa barang najis yang dapat disucikan, boleh diperjual belikan, tetapi kalau tidak dapat disucikan haram diperjual belikan.

Ulama Hanafiyah dan Dhahiriyah menyimpulkan bahwa segala sesuatu yang bermanfaat, yang dihalalkan agama, dapat diperjual belikan. Selain daripada itu, juga dipersoalkan kulit bangkai. Ada yang berpendapat tidak dapat disucikan dan sebagian menyatakan boleh dipakai dengan disamak lebih dahulu.

Pendapat yang kuat ialah yang menyatakan kebolehan memanfaatkan kulit bangkai dengan jalan disamak, karena disandarkan kepada Hadits:

Rasulullah saw. berlalu di hadapan beberapa orang yang sedang menarik bangkai kambing. Rasul bersabda: “Mengapakah kalian tidak mengambil kulitnya?” Jawab mereka “Ini bangkai kambing”. Mendengar itu, Nabi berkata “Kulit bangkai itu dapat disucikan dengan air dan daun kerteu. (H.R. Malik, Nasai dan Abu Dawud)

Ibnu Abbas berkata: Bersabda Nabi saw.:

Hanyasanya yang diharamkan (dari bangkai) ialah memakannya. (H.R. Jama’ah kecuali Ibnu Majah)

Ibnu Hazm dalam al-Muhalla, berkata: “Kulit bangkai, sembarang bangkai, walaupun kulit bangkai anjing dan babi, binatang buas atau lainnya suci dengan disamak, cuma tak boleh dimakan. Bulu bangkai, rambutnya, haram sebelum disamak dan halal sesudahnya. Tulangnya, tanduknya, dibolehkan dipakai cuma tak boleh dimakan”. Malik, as-Syafi’i dan Ahmad berpendapat bahwa tulang bangkai itu najis.

Sementara itu ats-Tsaury, Abu Hanifah dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa tulang bangkai itu boleh dipergunakan selain dimakan. Inilah kirinya pendapat yang lebih kuat karena ada Hadits:

Bahwasanya Rasulullah saw. membeli untuk Fatimah sebuah kalung dari gigi binatang dan dua gelang dari gading. (H.R. Abu Dawud)

Dari ulasan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa bagian-bagian dari bangkai yang dapat dibersihkan seperti kulit, kuku, tulang, rambut dan gadingnya dapat dimanfaatkan untuk keperluan selain dari memakannya. Apabila halal dimanfaatkan, maka halal pula diperjual belikan, selama maksud penjualannya tetap pada jalan yang halal. Dan apabila maksud penjualannya untuk dimakan, menjadilah haram. Dengan demikian larangan Nabi menjual bangkai dapat ditafsirkan, bahwa yang dimaksudkan larangan menjual ialah untuk keperluan dimakan, ditegaskan oleh pernyataan beliau sendiri: “Hanya saja yang diharamkan (dari bangkai) ialah memakannya”.

 

2.    Minuman keras (Khamar)

Segala minuman yang memabukkan (khamar) adalah haram diperdagangkan, sebagaimana dinyatakan dalam Hadits:

   

 

Diriwayatkan bahwa seorang laki-laki menghadiahkan satu mangkok minuman keras kepada Nabi saw. Maka sabda Nabi: “Tidakkah engkau ketahui bahwa Allah mengharamkannya?” Jawabnya: “Tidak”. Kemudian dibisiki oleh seorang laki-laki. Maka kata Nabi kepada laki-laki itu: “Apakah yang engkau bisikkan kepadanya?” Jawabnya: “Saya suruh dia jual (arak ini)”. Kata Nabi saw.:

Sesungguhnya (Allah) yang mengharamkan meminumnya telah mengharamkan (pula) menjualnya. (H.S.R. Muslim)

            Dalil itu menunjukkan bahwa segala macam minuman keras (khamar) apapun mereknya haram diperdagangkan.

            Dewasa ini banyak diperdagangkan khamar dengan menggunakan berbagai macam nama atau merek dagang yang tidak dengan jelas diterangkan khamarnya, misalnya bir dan lain-lain, padahal hakikatnya tidak lain kecuali khamar. Sebenarnya jauh sebelumnya Rasulullah saw. bersabda:

Segolongan umatku akan meminum khamar, mereka berikan nama dengan nama yang bukan khamar. (Zadul Ma’ad IV). Minuman keras itu sebenarnya jelas dengan esensi alkohol yang sifatnya memabukkan, sebagaimana dirumuskan oleh faqaha:Sesungguhnya khamar itu menutupi akal.

            Dalam berbagai nash yang terang menunjukkan bahwa khamar itu haram, banyak atau sedikit. Selain keharaman memperjual belikan khamar, maka segala bahan atau biang yang diketahui akan dibuat khamar oleh pembelinya, maka itu juga dilarang menjualnya. Misalnya nira, ragi, sari buah dan bahan-bahan lainnya yang jelas-jelas oleh pihak pembeli akan dibuat khamar, maka ketika itu haramlah menjualnya. Menjualnya berarti ikut membantu produksi khamar, yang berarti membantu dalam melakukan dosa dan kemaksiatan yang tegas-tegas dilarang dalam al-Qur’an: pada surat Al-maidah ayat 2:

 

 

Dalam Hadits, dinyatakan oleh Anas r.a:

Rasulullah saw mela’nat di tentang khamar sepuluh (macam): pemerasnya, yang menyuruh memeras, peminumnya, pembawanya, penampungnya, pelayan yang menghidangkannya, penjualnya, yang memakan hargnya, pembelinya dan yang menyuruh dibelikannya. (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Diriwayatkan bahwa Abdillah bin Buraidah berkata: “Telah bersabda Nabi saw.:

Barang siapa yang membiarkan anggurnya pada petikan untuk dia jual kepada orang yang menjadikannya arak, maka sesungguhnya dia menempuh api neraka dengan sengaja. (H.R. Thabrani di kitab Ausath dengan isnad yang baik)

            Keharaman menjual sari buah kepada orang yang akan menjadikannya khamar tidak diperselisihkan lagi oleh para fuqaha.

 

3.    Alat-alat ma’shiyat

Segala barang yang dijadikan sebagai sarana ma’shiyat haram diperjual belikan, seperti patung (berhala) dan sebagainya. Memperdagangkan barang tersebut, berarti ikut serta memperluas perbuatan syirik yang merupakan dosa besar di sisi Allah. Hal ini ditegaskan Rasulullah saw. Dalam hadits riwayat Jabir:

Sesungguhnya Allah mengharamkan penjualan khamr, bangkai, babi dan patung-patung. (H.R. Jama’ah)

Barang apa saja yang dijadikan alat syirik menjadi haram diperjual belikan, karena benda-benda tersebut wajib disingkirkan, digolongkan sebagai barang yang membawa kepada ma’shiyat ialah cemara. Berhubung adanya hadits Nabi saw:

Allah mela’nat perempuan yang memakai cemara dan perempuan yang minta dipakaikan cemara (H.R. Bukhari).

 

4.    Anjing

Tentang hukum penjualan anjing diperselisihkan oleh fuqaha yang dalam hal ini ada beberapa pendapat.­­

Pendapat pertama

Segala macam anjing baik yang berfaedah maupun yang tidak, baik anjing yang terlatih maupun yang tidak terlatih  tanpa kecuali, semua itu haram hukumnya diperjual belikan. Pendapat ini didukung oleh kebanyakan jumhur ulama.

 

Pendapat Kedua

Mengakui keharaman menjual anjing, tetapi mengecualikan anjing pemburu. Pendapat ini dipegang oleh Imam Atha’ dan Imam an-Nakha’i.

 

Abu Hurairah, meriwayatkan bahwasanya Rasulullah saw. Pernah bersabda: “Harga anjing itu haram, kecuali anjing pemburu”. (H.R. Tirmidzi)

 

Pendapat ketiga

Golongan ini berpendapat bahwa tidaklah haram memperjualbelikan anjing. Pendapat ini dipegang oleh sejumlah fuqaha antara lain Imam Hanafi.

 

Sabda Nabi saw:

Dan sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan makan sesuatu pada suatu kaum, ia mengharamkan pula atas mereka harganya. (Riwayat Ahmad dan Abu Dawud)

Sedangkan yang diharamkan Allah dalam al-Quran hanya empat saja:

Katakanlah (kepada mereka itu): “Tiada kudapati dalam (kitab) yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali bangkai atau darah yang mengalir, atau daging babi, karena  semua itu kotor atau kejahatan, atau binatang yang disembelih bukan karena Allah. (Q.S al-An’am: 145)

Jadi selain empat perkara yang telah diharamkan Allah, semuanya adalah halal. Sekiranya masih ada yang haram tentulah diterangkan oleh Allah. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, bahwa anjing itu boleh dijual, sebab Allah tidak haramkan dalam kitab-Nya.

Memperhatikan dalil-dalil yang dikemukakan oleh semua pihak, maka dapat diambil kesimpulan bahwa jual beli anjing itu terlarang, mengingat banyaknya Hadits shahih yang melarangnya tetapi larangan itu bukan larangan haram, melainkan makruh, yakni tidak disukai, tidak baik digalakkan dan dikembangkan. Larangan makruh bagi penjualan anjing ini diambil bersandar kepada dalil al-Quran, bahwa anjing tidak termasuk kategori haram seperti babi dan bangkai.

 

5.    Kucing

Dalam pada itu, dipersoalkan pula hukum penjualan kucing, apakah halal atau haram. Berikut adalah salah satu haditsnya.

 

Memperhatikan dhahir Hadits tersebut, nampaknya haramlah penjualan kucing, karena setiap larangan pada awalnya haram. Kelompok fuqaha yang mengharamkan penjualan kucing ialah, Mujahid dan Jabir bin Zaid. Demikian juga dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir dan Thawus.

Hukum menjual belikan kucing adalah haram berdasarkan dalil hadits Nabi SAW dan kaidah fiqih (al-qawa’id al-kulliyah). Diriwayatkan dari sahabat Jabir bin Abdillah RA bahwasanya Nabi SAW telah melarang memakan kucing dan melarang pula memakan harga kucing (nahaa [an-nabiyyu] ‘an akli al-hirrah wa ‘an akli tsamaniha) (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, hadits shahih. Lihat Imam As-Suyuthi, Al-Jami’ Al-Shaghir, Juz II hal. 191).

Hadits Nabi SAW itu menjadi dalil haramnya memakan kucing dan memperjual-belikan kucing. Jadi kita diharamkan memperdagangkan kucing sebagaimana kita diharamkan memakan daging kucing (Tentang haramnya memakan kucing lihat Asy-Syarbaini Al-Khathib, Al-Iqna`, Juz II hal. 273; Syaikh Zakariyya Al-Anshari, Fathul Wahhab, Juz II hal. 192). Adapun dasar dari kaidah fiqih, adalah kaidah fiqih yang berbunyi :

Kullu maa hurrimaa ‘ala al-‘ibaad fabai’uhu haraam

(Segala sesuatu yang diharamkan atas hamba, maka memperjualbelikannya adalah haram juga) (Lihat Taqiyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah, Juz II hal. 248).

Kaidah ini menjelaskan bahwa apa saja yang telah diharamkan syara’, maka diharamkan pula memperjualbelikannya. Baik sesuatu itu diharamkan memakannya (seperti babi, darah, bangkai, singa, elang, anjing), diharamkan meminumnya (seperti khamr), diharamkan membuatnya (seperti patung atau gambar makhluk bernyawa), atau diharamkan pada segi-segi yang lainnya.

Ketika sudah jelas bahwa syara’ mengharamkan kita untuk memakan daging kucing, maka haram pula menjual belikan kucing berdasarkan kaidah fiqih tersebut.

Jumhur Fuqaha membolehkan penjualan kucing, dan mengartikan Hadits larangan tersebut sebagai makruh, tapi memperdagangkan kucing bukanlah termasuk akhlak yang mulia.

 

6.    Buah-buahan yang belum dapat dimakan

Salah satu di antara barang-barang yang terlarang diperjual belikan ialah buah-buahan atau biji-bijian yang masih hijau belum nyata baiknya dan belum dapat dimakan (Mukhadlarah). Hal ini dikemukakan oleh Anas r.a. dalam Hadits yang diriwayatkannya:

Rasulullah saw. melarang muhaqalah, mukhadlarah (ijonan), mulamasah, munabazah, dan muzabanah”. (HR. Bukhari)

Buah-buahan yang boleh dijual ialah yang nyata baiknya. Untuk mengetahui apakah buah-buahan itu sudah matang dan nyata baiknya, dikembalikan kepada tabiat masing-masing buah, karena ada yang matangnya itu ditunjukkan oleh gejala warna, seperti hitam, kuning, merah dan lain-lain. Demikian juga biji-bijian ditandai dengan kerasnya biji itu. Dalam hubungan ini ada petunjuk dan hadits Nabi saw:

Dan apabila beliau ditanya tentang ma’na “nyata baiknya”, beliau berkata: “Hingga hilang bahayanya”. (Muttafaq ‘alaih)

Hadits tersebut menerangkan bahwa buah yang betul-betul baik ialah yang sudah terlepas dari penyakit yang kadang-kadang menimpa buah-buahan yang masih muda.

Anas bin Malik memberitakan:

Nabi saw. melarang menjual buah-buahan, hingga sempurna (masak). Ada orang bertanya: “Apa tanda sempurnanya?” jawab beliau: “Jadi merah, jadi kuning”. (Muttafaq ‘alaih)

Buah-buahan yang tabiatnya merah bila masak, maka itulah yang menjadi patokan baiknya, demikian juga yang tabiatnya kuning bila matang, maka itu pulalah yang jadi patokan baiknya.

Tentang anggur dan biji-bijian (palawija), Anas bin Malik juga memberitakan:

Nabi saw. melarang menjual anggur, hingga hitam dan melarang menjual biji-bijian hingga keras. (Riwayat Imam Hadits yang lima kecuali Nasa’i)

Pendapat fuqaha

Fuqaha mujtahidin mengemukakan berbagai pendapat yang berkaitan dengan larangan penjualan buah-buahan yang belum nyata baiknya. Para fuqaha telah sepakat, bahwa menjual buah-buahan yang belum keluar dari tangkainya tidak boleh, karena hal itu berarti menjual yang belum ada. Demikian juga, mereka sepakat tentang tidak bolehnya menjual buah-buahan yang sudah keluar dari tangkainya tetapi belum mendatangkan manfaat apa-apa, kecuali Imam Hanafi, ia membolehkan menjual buah-buahan baik yang belum matang maupun yang sudah matang, dengan syarat harus dipotong (dipetik).

Ulama Hanafiah tidak membolehkan penjualan buah-buahan dengan tetap dipohon. Alasan mereka ialah: karena penjualan itu sendiri harus diserahkan, yang kalau tidak akan mengakibatkan kerugian.

Pandangan yang berbeda-beda dari fuqaha dengan titik berat dipetik atau tetap dipohon, matang atau belum matang, kiranya sama-sama berpangkal pada prinsip menjauhi kesamaran dengan segala akibat buruknya, namun analisa hukumnya berbeda.

Adapun yang menjadi latar belakang timbulnya larangan tersebut, ialah: orang-orang pada masa Rasulullah saw. belum memperjual belikan buah-buahan sebelum Nampak baiknya. Apabila telah tiba waktu panen, dan ternyata keadaan buah-buahan itu tidak seperti yang diharapkannya, maka pembeli berkata: “Lama menunggu panen telah menimpa buah-buahan, sehingga menimbulkan kotoran dan penyakit”. Mereka beralasan demikian dengan maksud membatalkan aqad. Setelah banyak pertengkaran yang ditimbulkannya, maka beliau bersabda: “Janganlah kalian menjual kurma, sehingga Nampak baiknya”.

 

Apabila kita perhatikan latar belakang larangan tersebut, maka hikmahnya:

a.       Mencegah timbulnya pertengkaran (mukhashamah) akibat kesamaran.

b.      Melindungi pihak pembeli, jangan sampai menderita kerugian akibat pembelian buah-buahan yang rusak sebelum matang.

c.       Memelihara pihak penjual jangan sampai memakan harta orang lain dengan cara yang bathil.

d.      Menghindarkan penyesalan dan kekecewaan pihak penjual jika ternyata buah muda yang dijualnya dengan harga murah itu, memberikan keuntungan besar kepada pembeli setelah buah itu matang dengan sempurna.

 

Banyak buah-buahan yang masih muda dan masih hijau tetapi sudah dapat dimakan dan dimanfaatkan. Misalnya jagung, mangga, papaya dan sebagainya yang biasanya dipetik setelah matang, tetapi bisa juga dipetik di waktu muda untuk dinikmati dengan cara-cara tertentu. Buah muda seperti itu tidaklah termasuk dalam kriteria yang terlarang untuk dijual, asalkan penjualan diwaktu mudanya itu dimaksudkan dengan jelas untuk dimakan selagi muda, tidak mengandung kesamaran.

Yang menjadi prinsip ialah terlarang menjual buah yang belum nyata baiknya. Adapun yang menjadi gejala dan ukuran nyata baiknya dapat disimpulkan sebagai berikut:

a.       Sudah berobah warnanya menurut tabiat masing-masing buah, misalnya warna kuning, merah, hitam dan sebagainya.

b.      Sudah menjadi keras bagi palawija.

c.       Sudah melewati masa penyakit atau bahaya yang sering menimpa buah-buahan.

d.      Sudah dapat dimakan atau dimanfaatkan.

Sebaliknya buah yang tidak boleh diperjual belikan karena belum nyata baiknya ialah apabila:

a.       Belum berobah warna, yang menurut tabiatnya akan berobah warna bila matang.

b.      Belum keras, khususnya biji-bijian.

c.       Belum melewati masa kritis yang sering menimpa buah-buahan.

d.      Belum dapat dimakan atau dimanfaatkan

Wallahu a’lam

 

7.    Air

Air sebagai kebutuhan pokok manusia, dipersoalkan dalam Fiqih Islam, karena benda vital tersebut manusia bersekutu (berserikat). Sabda Rasulullah saw.:

Manusia bersekutu pada tiga (macam) benda, yaitu: rumput, air dan api. (H.R. Ahmad dan Abu Dawud)

Dengan dasar itu, maka ketiga macam barang tersebut dapat digunakan oleh siapa saja yang terdahulu di suatu tempat yang masih bebas. Air yang dimaksudkan dalam pembahasan ini ialah air kelebihan dari yang dibutuhkan, bersandar kepada Hadits yang diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah r.a.:

 

Rasulullah saw. melarang jual beli air yang lebih (daripada keperluan). (H.R. Muslim)

 

Melihat pada dhahirnya nash, maka segala macam air (kelebihan), tidak boleh diperjual belikan baik di tempat yang bebas maupun di tempat yang telah dimiliki.

Menurut segolongan fuqaha, pemilik air wajib memberikan dengan Cuma-Cuma kelebihan airnya kepada yang memerlukan, baik untuk diminum, bersuci atau mengairi sawah, baik air yang berada di tempat yang bebas maupun di tempat yang ada pemiliknya. Firman Allah:

Tiada berdosa atas kalian, jika kalian masuk ke dalam rumah yang tiada ditinggali orang, yang di dalamnya kalian ada keperluan. (Q.S. an-Nur: 29)

 

Segolongan fuqaha berpendapat bahwa kelebihan air yang dilarang penjualannya, ialah air sungai, air tasik, air danau, air dari mata air dan air hujan, selama air tersebut masih tetap di tempatnya semula, karena air tersebut adalah milik umum, bukan milik pribadi.

Adapun air yang diperbolehkan dengan jalan penggalian, pengeboran dan macam-macam usaha dengan menggunakan tenaga dan biaya, maka air tersebut menjadi air milik dan boleh dijual. Rasulullah saw. bersabda:

 

Barangsiapa membeli sumur “Rumah” untuk melapangkan keperluan Kaum Muslimin, maka baginya sorga.

 

Leave a comment